BdBK-12


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 12

kembali | lanjut

BdBK-12NAMUN kedua anak-anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan mereka yang memandanginya sambil bertanya di dalam hati. Mereka maju terus, meskipun tidak terlampau kencang.

Ternyata Buntal masih mengenal dengan baik jalan menuju ke pinggir bengawan seperti yang telah dijanjikan. Meskipun jalan itu kemudian menjadi agak sulit, namun mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan bengawan yang berarus deras dan berwarna lumpur.

Ketika kuda mereka menuruni tebing yang agak landai dan sampai di atas pasir tepian, maka keduanya pun terkejut. Ternyata mereka melihat tidak saja bangsawan-bangsawan muda yang dijumpainya dan yang telah bertengkar dengan mereka tetapi jumlah itu telah bertambah lagi.

“Nah, ternyata yang dikatakan Raden Juwiring itu benar” desis Arum.

“Apaboleh buat” sahut Buntal.

“Dan kita dapat dilemparkan ke dalam bengawan itu”

“Apaboleh buat. Tetapi mereka tidak akan melakukannya di hadapan Raden Juwiring, putera Pangeran Ranakusuma, seorang Senapati yang disegani di Surakarta ini”

“Dan agaknya kita sudah mulai menyandarkan diri”

“Apaboleh buat”

Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu berjalan di atas pasir tepian. Perlahan-lahan keduanya maju mendekati segerombol bangsawan-bangsawan muda yang sudah menunggu.

“Ha, ternyata keduanya datang” berteriak salah seorang dari mereka.

“Apakah yang seorang itulah Arum. Nampaknya seperti seorang laki-laki”

Seorang bangsawan muda tiba-tiba saja meloncat naik ke punggung kudanya dan menyongsong Buntal. Beberapa langkah di hadapannya ia berteriak, “Yang seorang adalah gadis itu. Ia berpakaian seorang laki-laki. Pantas sekali. Justru ia tampak sebagai seorang anak muda yang tampan sekali. Aku justru jatuh cinta kepadanya”

Kata-kata itu bagaikan bara yang menyentuh telinga Arum dan Buntal. Tetapi mereka berdua sama sekali tidak menyahut. Mereka masih tetap maju perlahan-lahan.

Bangsawan yang seorang, yang menyongsongnya itu masih saja mengitari keduanya sambil berteriak, “Kita tidak dapat sekedar bermain-main. Agaknya anak ini yakin benar akan dirinya”

Arum dan Buntal masih berdiam diri. Mereka mengerutkan kening ketika mereka melihat Raden Juwiring melangkah maju. Katanya kepada Buntal. “Nah, kemarilah. Kita akan membuat perjanjian. Perjanjian seorang laki-laki”

Bangsawan muda yang berkuda di sebelah Arum itu berkata, “Tidak ada yang menyebut aku seorang perempuan. Sedangkan gadis ini pun berpakaian seperti laki-laki”

“Bukan pakaiannya” jawab Juwiring, “Aku tahu bahwa seorang laki-laki dapat saja berbuat seperti perempuan. Tetapi juga sebaliknya, seorang perempuan dapat berbuat seperti seorang laki-laki”

“Apa yang dilakukan oleh laki-laki dan apa yang dilakukan oleh perempuan?”

“Laki-laki akan menghargai kelaki-lakiannya di dalam setiap persoalan. Apa yang dikatakan dilakukannya. Ia yakin akan sikapnya, tetapi tidak mengingkari kenyataan. Ia berani mempertahankan keyakinannya, tetapi berani mengakui kesalahannya apabila hal itu disadarinya”

“Dan perempuan?”

“Perempuan kadang-kadang menggantungkan diri kepada laki-laki. Ia pasrah kepada keadaan meskipun kadang-kadang harus mengeluh. Menekan perasaan di dalam dadanya sambil menekan gejolak hati. Tetapi sudah aku katakan, kadang-kadang terdapat kelainan. Dan kalian akan melihat kelainan itu di sini”

Bangsawan-bangsawan muda itu memandang Juwiring dengan heran. Lalu salah seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang akan kita lihat di sini?”

“Tidak apa-apa. Tetapi marilah kita membuat perjanjian. Perjanjian yang saling kita hormati” sahut Juwiring.

“O” bangsawan muda yang bertubuh kekar itu pun maju selangkah, “Aku tahu, kau menyangka bahwa kami akan berbuat curang. Itulah yang kau maksud, bahwa kita akan melihat kelainan di sini”

“Syukurlah jika hal itu tidak terjadi”

“Kau sudah menghina kami. Dan kami tidak rela membiarkan diri kami mendapat penghinaan semacam itu”

“Karena itu kalian harus membuktikan, bahwa aku keliru”

“Persetan, Suruh anak itu turun dari kudanya. Kita akan melihat, siapakah yang curang dan licik”

Juwiring mengangguk-angguk sambil menyahut, “Ya. Biarlah ia mendekat”

Buntal yang sudah ada di dekat segerombol anak-anak muda itu pun meloncat turun dari kudanya diikuti oleh Arum. Sekilas mereka masih melihat warna-warna merah yang tersangkut di bibir mega yang bergumpalan menghiasi langit yang jernih.

“Cepat katakan” geram bangsawan muda yang bertubuh kekar itu, “Apakah yang kita jadikan syarat dari perkelahian ini. Aku sudah tidak sabar lagi”

“Kita saling menghormati” sahut Juwiring, “yang kalah harus segera menyatakan kekalahannya dan yang menang tidak akan berbuat lebih banyak lagi. Itu agaknya syarat yang paling lunak, tetapi memadai”

“Persetan?” desis anak muda yang bertubuh kekar itu, “selebihnya?”

“Tidak ada. Kita sudah saling mengetahui bahwa jika kita bertanding, kita tidak boleh menggigit dan menggelitik”

“Cukup” bentak anak muda yang masih ada di punggung kuda, yang semula menyongsong Buntal dan Arum, “Kau menganggap kami seperti kanak-kanak yang baru pandai berjalan”

“Bukan maksudku. Tetapi biarlah kita menjadi jelas pada persoalan yang sama-sama kita hadapi. Kita akan menjadi saksi”

“Sekarang, kita mulai sekarang” desis anak muda yang lain.

“Kita membuat lingkaran. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Dan kita harus sudah mulai. Kita akan menguji siapakah yang memiliki indera lebih tajam di dalam kegelapan”

Demikianlah maka anak-anak muda itu pun segera membuat sebuah lingkaran. Mereka berdiri di atas pasir yang basah dengan hati yang berdebar-debar.

“Cepat, masuk ke dalam arena” berkata salah seorang dari mereka.

Bangsawan muda yang bertubuh kekar itu pun segera masuk ke dalam lingkaran. Juwiring yang berdiri di pinggir lingkaran itu pun kemudian memanggil Buntal, “Masuklah. Lawanmu sudah siap. Kita hanya ingin melihat, apakah jika kalian dibiarkan berkelahi, yang sedang memiliki kekuasaan dan kewenangan selalu menang, “

“Kau jangan selalu menghina kami” bentak anak muda yang bertubuh kekar itu. Lalu, “Kenapa bukan kau saja yang memasuki arena? Kita akan berjanji bahwa kita tidak akan menyeret orang tua kita masing-masing, karena aku tahu bahwa pamanda Ranakusuma adalah seorang Senapati yang terpandang”

“Kau dan aku sederajad. Jika kau menganggap dirimu mempunyai hak dam wewenang khusus, melampaui hak dan wewenang anak padesan, maka aku pun mempunyainya, sehingga perkelahian di antara kita, siapapun yang menang tidak akan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan kita”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia melihat Juwiring yang lain daripada Juwiring yang rendah hati di padepokan Jati Aking. Juwiring yang ada di pinggir arena itu adalah Juwiring yang agak sombong dan tinggi hati. Tetapi seperti yang sudah dikatakannya, di hadapan anak-anak muda yang bengal itu, maka Juwiring pun harus bersikap serupa.

“Cepatlah, jangan ragu-ragu” berkata Juwiring kepada Buntal yang masih berdiri di tempatnya.

Buntal pun kemudian melangkah maju mendekati lawannya di arena. Sejenak ia memandang wajah bangsawan muda yang bertubuh kekar. Tubuh yang memiliki kemungkinan yang sangat baik jika bangsawan muda itu mendapat tuntunan yang tepat di dalam olah kanuragan.

Karena itu, seperti yang selalu dinasehatkan oleh Kiai Danatirta, Buntal tidak memandang rendah lawannya meskipun menurut Juwiring, anak-anak muda itu hampir tidak pernah menuntut ilmu apapun juga selain berbuat bengal.

“Nah, kita akan segera mulai” berkata Juwiring, “Marilah kita bersama-sama menjadi saksi. Saksi yang jujur atas perkelahian yang bakal terjadi”

“Jangan banyak bicara lagi” desis bangsawan yang bertubuh kekar.

“Baik. Mulailah”

Bangsawan muda yang bertubuh kekar itu mulai bergerak. Dipandanginya Buntal yang mulai samar-samar. Sejenak keduanya bergeser, seakan-akan ingin menemukan kelemahan lawannya.

Sepintas Buntal dapat melihat, bahwa lawannya tentu bukannya belum pernah mempelajari olah kanuragan. Sikapnya dan tatapan matanya mengatakan kepadanya, bahwa anak muda yang bertubuh kekar itu pun tentu sudah mempelajari ilmu kanuragan.

Dengan demikian Buntal menjadi semakin berhati-hati. Apalagi bayangan langit yang semakin buram mengaburkan wajah anak muda yang bertubuh kekar itu. Namun ada juga baiknya bagi Buntal karena yang tampak kemudian adalah semacam bayangan saja yang kehitam-hitaman, sehingga ia tidak melihat perbedaan yang jelas antara anak muda itu dengan orang-orang lain. di dalam gelapnya malam, maka tidak ada lagi bedanya, bayangan seorang bangsawan dan orang kebanyakan.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, terjadilah perkelahian itu. Sekejap pun Buntal tidak berbicara sampai pada saatnya ia menghindari serangan yang pertama.

Ternyata bahwa bangsawan muda yang bertubuh kekar itu agaknya memang pernah mempelajari ilmu kanuragan. Karena itu, maka untuk beberapa saat ia masih dapat dengan dada tengadah menyerang Buntal yang masih dipengaruhi oleh perasaan segan.

Namun dalam serangan-serangan itu, Buntal segera mengetahui bahwa bangsawan muda itu masih belum menguasai benar ilmu yang dipelajarinya. Agaknya selama ini ia hanya membanggakan kekuatan tubuhnya yang kekar itu, sehingga tata geraknya sama sekali tidak menguntungkannya. Meskipun demikian Buntal masih harus berhati-hati. Anak muda itu benar-benar mempunyai kekuatan yang luar biasa. Adalah kebetulan sekali bahwa Buntal pun telah mempelajari ilmunya dengan cara yang berbeda dengan Juwiring, yang lebih banyak menyandarkan juga pada gerak jasmaniahnya, sehingga di dalam saat tertentu, jika terjadi benturan kekuatan, Buntal mampu mengimbangi kekuatan lawannya. Bahkan kadang-kadang Buntal dengan sengaja tidak menghindari serangan anak muda yang bertubuh kekar itu, tetapi membenturnya dengan kekuatannya pula.

Meskipun malam menjadi gelap, tetapi keduanya mampu meneruskan perkelahian itu dengan sengitnya. Mereka berganti-ganti menyerang dan bertahan. Silih ungkih, seolah-olah keduanya memiliki ilmu yang seimbang.

Tetapi sebenarnya Buntal segera mampu menguasai lawannya apabila ia menghendakinya. Ia memiliki bekal jauh lebih banyak dari anak muda yang bertubuh kekar itu. Apalagi di dalam kelamnya malam ketajaman penglihatannya sangat membantunya.

Namun demikian ada sesuatu yang menahannya untuk tidak segera memenangkan perkelahian itu. Ternyata ia mempunyai rasa hormat pula kepada para bangsawan. Buntal masih mengharap bahwa jika ia kemudian menang, maka kemenangan-nya itu tidak terlampau menyakitkan hati lawannya, yang kebetulan adalah seorang bangsawan.

Tetapi agaknya berbeda dengan Arum. Ia dapat melihat kelebihan Buntal seperti juga Juwiring. Rasa-rasanya ia ingin mendorong anak muda itu agar segera menyelesaikan perkelahian, kemudian dengan demikian mereka akan meyakini kelebihan anak-anak padesan dari para bangsawan.

Sementara itu, bangsawan-bangsawan muda yang menyaksi-kan perkelahian itu pun menjadi berdebar-debar. Bagi mereka perkelahian itu adalah perkelahian yang dahsyat sekali, karena mereka melihat keduanya saling mendesak dan kadang-kadang keduanya terdorong surut oleh benturan yang keras.

Namun sebenarnyalah bahwa anak muda itu menjadi heran. Kenapa bangsawan muda yang kekar itu tidak segera menguasai lawannya yang sekedar anak padesan. Mereka ingin segera melihat anak Jati Aking itu menyerah, dan kemudian beramai-ramai mereka akan dapat menghinakannya. Apalagi beserta anak muda itu, datang juga Arum meskipun ia mempergunakan pakaian seorang laki-laki.

Dalam pada itu, selagi kedua anak-anak muda itu masih saja berkelahi, ternyata ada juga seorang bangsawan muda yang tidak dapat menahan hatinya melihat Arum justru dalam pakaian seorang laki-laki. Di dalam gelap, Arum sama sekali tidak menghiraukan lagi orang-orang yang berdiri di seputar arena. Perhatiannya sepenuhnya terpusat kepada perkelahian itu, sehingga karena itu, maka ia berdiri saja tanpa prasangka terhadap bangsawan-bangsawan muda itu. Dan itulah kesalahan-nya. Setiap kali ia justru mendesak seseorang yang berdiri di sebelahnya, sehingga anak muda itu telah kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan dirinya.

Hampir di luar sadarnya, bangsawan muda itu menyentuh tubuh Arum. Dan adalah di luar dugaan Arum, bahwa sentuhan-sentuhan di lengan dan punggungnya itu adalah suatu kesengajaan. Ia menyangka bahwa mereka saling mendesak karena perhatian mereka terhadap perkelahian itu.

Tetapi tangan itu ternyata semakin jauh merayapi tubuh Arum, sehingga perlahan-lahan Arum mulai memperhatikan tangan itu meskipun ia masih tetap berdiam diri saja.

Akhirnya sampai saatnya, Arum lah yang tidak dapat menahan dirinya. Ketika tangan itu masih saja menjalari tubuhnya, tiba-tiba saja tangan itu telah terpilin keras-keras. Bahkan kemudian tangan itu seakan-akan terangkat di atas bahu Arum yang merendah. Sebuah tarikan yang menghentak telah melemparkan anak muda itu lewat di atas pundak Arum dan terbanting jatuh di atas pasir.

Hal itu benar-benar telah mengejutkan. Bangsawan muda yang terbanting jatuh itu terkejut bukan kepalang. Ia menyadari dirinya setelah ia berbaring di atas pasir yang basah. Beberapa orang justru berdiri bingung dan demikian juga Juwiring.

Bukan saja mereka yang berdiri di seputar arena, bahkan mereka yang sedang berkelahi itu pun terkejut pula sehingga perkelahian itu terhenti karenanya.

Bangsawan muda yang terbanting itu tertatih-tatih berdiri sambil menyeringai. Tangannya rasa-rasanya akan patah dan punggungnya bagaikan retak. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk mempertahankan harga dirinya Dipaksanya tangannya yang sakit itu untuk bertolak pinggang sambil menggeram.

“Perempuan Gila” Ia mengumpat, “Jika kau seorang laki-laki, maka aku patahkan tanganmu”

“Cobalah” jawab Arum, “Kitalah sekarang yang berkelahi di arena”

Juwiring menjadi cemas, sehingga ia pun mendekatinya.

Tetapi agaknya kemarahan Arum sudah sampai ke puncaknya sehingga tanpa menghiraukan apapun lagi ia melangkah maju sambil berkata, “Marilah kita bertindak adil. Persoalan ini adalah persoalanku dengan anak muda yang lancang itu. Sebenarnya kamilah yang harus menyelesaikannya bukan orang lain. Bukan kakang Buntal dan bukan anak muda yang lain. Tetapi kami yang memang mempunyai persoalan. Kemudian aku telah terpaksa membuka persoalan yang lain. Anak muda ini pun agaknya anak muda yang lancang. Setelah perkelahian yang pertama, aku akan melawan orang kedua ini”

Bangsawan-bangsawan muda yang berdiri melingkar itu terkejut bukan kepalang. Ternyata gadis ini benar-benar memiliki sesuatu yang dapat dipercaya. Karena itulah maka mereka pun menjadi termangu-mangu untuk beberapa saat.

Dalam pada itu maka Juwiring pun kemudian mendekatinya. Dengan hati-hati ia berkata, “Sabarlah Arum”

“Akulah yang dihinakannya. Dan akulah yang paling berhak membersihkan namaku”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengenal sifat Arum. Namun demikian ia tidak dapat membiarkan Arum terseret oleh perasaannya. Karena itu maka katanya kemudian, “Di dalam persoalan ini, kita mempunyai cara tersendiri, Arum. Dan kita sedang mencoba menempuh jalan yang paling baik bagi kita”

“Tetapi tidak paling baik bagiku. Mungkin kakang Buntal dapat memenangkan perkelahian itu, karena seharusnya ia sudah sejak perkelahian itu dimulai, dapat menjatuhkan lawannya. Tetapi agaknya ia merasa segan melakukannya. Tetapi kemenangan kakang Buntal adalah penyelesaian sementara bagiku. Karena apabila aku sedang berjalan sendiri dimana pun, mungkin akan mereka jumpai, maka akan timbul persoalan serupa jika aku sendiri tidak mencoba menyelesaikannya”

Dada Juwiring menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia harus mencegahnya. Jika Arum tidak dapat mengendalikan diri, maka tingkah lakunya akan dapat menyinggung perasaan anak-anak muda itu sehingga persoalannya akan berkembang semakin luas.

Namun dalam pada itu, sebelum Juwiring sempat berkata sesuatu lagi, mereka terkejut oleh suara bernada tinggi dari kegelapan, sehingga serentak mereka berpaling. Yang tampak hanyalah sebuah bayangan kehitam-hitaman yang berjalan mendekati arena itu.

“Alangkah bodohnya bangsawan muda di Surakarta ini” berkata bayangan itu.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian Juwiring berdesis, “Pamanda Hargasemi”

Dan hampir berbareng anak-anak muda yang lain pun berdesis, “Pamanda Pangeran Hargasemi”

Bayangan itu pun menjadi semakin dekat. Dalam keremangan malam tampaklah seorang Pangeran yang masih muda berdiri sambil bertolak pinggang. Terdengar ia tertawa pendek. Lalu katanya pula, “Kalian tidak melihat kenyataan yang terjadi di hadapan kalian”

Bangsawan muda itu pun segera mengerumuninya. Bagi bangsawan muda yang berada di pinggir bengawan itu, Pangeran Hargasemi telah memberikan sesuatu yang rasa-rasanya menyenangkan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Namun karena sehari-hari Pangeran Hargasemi merupakan kawan bermain yang baik, maka mereka pun menyambutnya dengan gembira.

Berbeda dengan mereka adalah Juwiring. Meskipun Juwiring tidak terlampau banyak mengenal Pangeran yang masih muda itu, namun sedikit banyak ia pernah mendengar bahwa Pangeran Hargasemi adalah kawan yang baik bagi anak muda yang bengal itu dan terlebih-lebih lagi Pangeran muda itu adalah sahabat yang sangat dekat dengan kumpeni. Tetapi yang terlebih mendebarkan jantung, Pangeran Hargasemi memiliki ilmu olah kanuragan yang tinggi.

Sejenak Pangeran Hargasemi memandang Juwiring. Lalu katanya, “Juwiring sekarang menjadi semakin tampan setelah ia berada di padepokan Jati Aking. Melihat anak-anak padesan itu berkelahi maka kita pun seharusnya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Juwiring tentu memiliki ilmu kanuragan padesan yang kasar itu”

Juwiring tidak menyahut, meskipun dengan susah payah ia menahan hatinya.

Dalam pada itu Buntal dan Arum pun menjadi terheran-heran. Mereka mendengar bagaimana bangsawan-bangsawan muda itu menyebut orang yang baru saja datang itu. Karena itu, mereka masih juga menyadari bahwa mereka tidak dapat berbuat tanpa pertimbangan lebih jauh terhadap seorang Pangeran meskipun masih cukup muda.

“Kalian ternyata terlampau dungu” berkata Pangeran Hargasemi itu, “Sudah lama aku melihat perkelahian di arena. Aku melihat juga bagaimana gadis itu membanting lawannya dalam sekejap” Pangeran muda itu berhenti sejenak, lalu, “seharusnya kalian menyadari bahwa kalian bukanlah lawan mereka. Anak muda yang berkelahi di arena itu sebenarnya sama sekali tidak berimbang. Anak Jati Aking itu masih menaruh hormat kepada lawannya karena lawannya adalah seorang bangsawan seperti yang dikatakan oleh gadis itu. Dan tidak ada seorang pun di antara kalian yang dapat mengalahkan gadis itu. Nah, siapa yang tidak percaya dapat mencobanya”

Tidak seorang pun yang menyahut, sedang Juwiring, Buntal dan Arum masih saja berdiri termangu-mangu.

Pangeran Hargasemi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus. Kalian harus menyadari bahwa gadis itu memang memiliki kelebihan. Karena itu, kalian tidak usah mencoba menyentuhnya jika tangan kalian tidak ingin dipatahkannya” tiba-tiba saja Pangeran Hargasemi itu tertawa. Suara tertawanya terdengar aneh dan tanpa disadarinya bulu-bulu kulit Arum pun terasa meremang.

“Ah, sudah barang tentu, gadis seperti Arum itu dapat mengadakan sayembara tanding. Siapa yang dapat mengalahkan saudara-saudara seperguruannya termasuk Juwiring, ia akan dapat memilikinya. Atau barangkali sayembaranya akan berbunyi, siapa yang dapat mengalahkan dirinya”

“Gila” Arum menggeram.

Juwiring berpaling. Ia mencoba memberi isyarat agar Arum mencoba menahan diri. Tetapi di dalam kegelapan isyarat itu tidak tertangkap oleh Arum.

Pangeran Hargasemi masih tertawa. Katanya, “Gadis itu memang agak liar. Tetapi menyenangkan. He, siapa yang jatuh cinta kepadanya?”

Bangsawan-bangsawan muda itu saling berpandangan sejenak. Namun suasananya tiba-tiba telah berubah dengan kehadiran Pangeran Hargasemi. Bahkan ketika Pangeran Hargasemi tertawa lebih keras lagi, beberapa orang yang lain telah tertawa pula.

“Ayo, siapa yang akan memasuki sayembara tanding? Tidak ada? Jika tidak ada, akulah yang akan memasuki sayembara tanding itu. Dan aku akan memilih lawan yang paling tangguh. Juwiring. Tentu Juwiring lah yang paling sempurna di antara murid-murid guru olah kanuragan padesan terpencil itu. Jika aku kalah, aku menyerah meskipun aku akan dilemparkan ke dalam bengawan. Tetapi jika aku menang, aku akan mendapatkan Arum. Nah, jika aku mendapatkannya, kalian, anak-anak muda yang telah bersusah payah berkerumun di sini tidak usah cemas”

Pangeran muda itu tertawa, dan bangsawan muda yang lain pun tertawa riuh. Lalu, “Jika ayahnya marah, biarlah aku yang menyelesaikan. Jika ia mempunyai sepasukan cantrik, aku akan meminjam tiga orang kumpeni. Tak ada orang yang dapat melawan kumpeni sekarang. Betapa tinggi ilmunya, jika tubuhnya tersentuh peluru, maka ia pun akan mati”

“Cukup” teriak Arum yang tubuhnya menjadi gemetar, “Aku akan berkelahi sampai mati”

Tetapi Pangeran Hargasemi tertawa, “Jangan mati. Aku dapat mengalahkanmu tanpa membunuhmu”

Kemarahan Arum tiba-tiba telah membakar ubun-ubunnya. Tetapi dengan demikian mulutnya justru seakan-akan tersumbat karenanya.

Dalam pada itu, tanpa disadari, berbareng Juwiring dan Buntal melangkah mendekati Arum. Memang tidak ada cara lain dari pada mempertahankan kehormatan itu dengan apa saja yang dimilikinya. Termasuk nyawanya.

Tetapi Pangeran Hargasemi tidak menghiraukannya. Katanya, “Kalian akan menjadi saksi. Dan untuk itu kalian akan mendapat upah daripadaku nanti. Nanti atau besok atau lusa”

Suara tertawa pun meledaklah di pinggir bengawan itu.

Wajah Arum rasa-rasanya seperti tersentuh bara. Oleh kemarahan yang memuncak, maka tubuhnya menjadi gemetar.

“Nah, baiklah kalian bertiga berkelahi bersama-sama. Aku tidak berkeberatan” ia berhenti sejenak, lalu, “Jika terjadi sesuatu atas kalian, terutama atas Juwiring, maka bukan maksudku menyeret kemarahan Kamas Ranakusuma. Aku tahu bahwa Juwiring menyandarkan diri kepada kangmas Pangeran, karena kangmas Pangeran adalah seorang Senapati yang berpengaruh. Tetapi pengaruhnya tidak akan dapat menyentuh aku, karena seperti kangmas Pangeran, aku pun mempunyai sahabat perwira-perwira kumpeni”

“Pamanda” berkata Juwiring yang sudah tidak dapat menahan hati lagi, “Aku mohon maaf, bahwa jika aku menentang kehendak pamanda, bukan berarti aku menentang kehendak orang tua. Tua dalam pengertian darah, karena agaknya umur pamanda tidak jauh di atas umurku. Tetapi aku terpaksa mencegah pamanda bertindak sewenang-wenang.

Pangeran Hargasemi tertawa. Katanya, “Kau memang belum mengenal aku. Aku memiliki kemampuan berkelahi melawan kau bertiga. Bahkan lipat dua sekalipun. Karena itu jangan berusaha mencegah aku”

“Pamanda. Apakah demikian contoh yang pamanda berikan kepada kami, anak-anak muda ini”

Pangeran yang masih muda itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelepar di sepanjang tepi bengawan. Katanya di sela derai tertawanya, “Jangan berbicara tentang anak-anak muda, tentang contoh yang baik dan yang buruk. Sekarang marilah kita berbicara dengan jujur. Aku ingin gadis itu. Itu adalah pengakuan yang jujur. Dan anak-anak muda memang harus jujur”

“Itukah kejujuran yang pamanda ajarkan kepada kami? Juga seandainya kami ingin mengambil Kangjeng Kiai Plered sekalipun. Karena kami ingin jujur, maka kami harus datang menghadap Kangjeng Susuhunan dan mohon untuk mengambil tombak itu?”

“Jangan banyak bicara lagi. Kau tidak dapat melawan aku dipandang dari segala segi. Derajadku lebih tinggi, karena aku Pangeran. Umurku lebih tua meskipun sedikit, dan ilmuku lebih mantap dari ilmumu. Nah, kau mau apa. Kau tidak dapat berbuat apa-apa. Aku adalah seorang Pangeran”

Darah Juwiring tiba-tiba telah mendidih. Meskipun ia menyadari bahwa Pangeran Hargasemi adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu yang hampir sempurna, namun ia tidak mempunyai jalan lain.

Namun sekali lagi tepian itu diguncang oleh suara tertawa berkepanjangan. Suara itu datang dari sebuah rakit di pinggir bengawan. Rakit yang tiba-tiba saja berada di tempat itu tanpa diketahui kapan datangnya.

Kini semua mata tertuju kearah rakit itu. Sebuah pelita minyak terletak di ujungnya. di sebelah pelita itu duduk seseorang sambil memeluk lututnya.

Para bangsawan yang ada di tepian bengawan itu menjadi termangu-mangu sejenak. Seolah-olah mereka telah melihat sesuatu yang tidak sewajarnya.

Suara tertawa itu pun kemudian mereda. Orang yang berada di dalam rakit itu masih duduk sambil memeluk lututnya di sebelah Pelita minyak yang menyala.

Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya mempunyai kemampuan yang tanpa tanding di antara para bangsawan itu pun kemudian melangkah maju. Didekatinya rakit yang berhenti di pinggir bengawan itu sambil bertanya, “Siapakah kau he?”

Orang di atas rakit itu masih belum menjawab, “Siapa kau, dan apakah maksudmu mengganggu kami yang sedang bermain-main, “

“Maaf Pangeran” jawab orang itu, “Bukan maksud kami mengganggu Pangeran yang sedang bermain bersama para bangsawan muda dari Surakarta ini. Tetapi aku sangat tertarik kepada permainan yang tuan lakukan”

“Apakah yang telah menarik perhatianmu?”

“Permainan itu sendiri. Agaknya Pangeran sedang bermain kekuasaan. di sini ada dua orang anak-anak dari padesan. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. di antara sekian banyak bangsawan muda, bahkan ada seorang Pangeran yang masih muda pula, tetapi hanya seorang sajalah yang berpihak kepada kedua anak padesan itu. Itulah yang menarik. Menurut pendapatku permainan itu kurang adil. Bagaimana jika jumlah para bangsawan yang ada itu dibagi. Kemudian beradu binten. Atau bantingan di atas pasir”

“Siapa kau he? Apa kepentinganmu dengan permainan kami ini?”

“Tidak apa-apa. Tetapi sama sekali tidak adil”

“Kau salah. Kami tidak bersama-sama bermain melawan kedua anak-anak padesan itu. Justru aku mempersilahkan mereka untuk melawan aku bertiga. Nah, kau dengar”

“O, begitu. Sayang sekali. Seharusnya Pangeran tidak usah menakut-nakuti mereka dengan kedudukan Pangeran. Mungkin salah seorang dari mereka akan dapat mengalahkan Pangeran. Tetapi sudah barang tentu mereka akan segan melakukannya, karena mereka takut akan akibatnya. Apalagi Pangeran Hargasemi adalah seorang Pangeran yang bersedia duduk di bawah atas kaki orang-orang asing itu, sehingga dengan demikian Pangeran akan segera mendapat bantuan mereka apabila diperlukan. Bahkan menghadapi Pangeran Ranakusuma sekalipun, meskipun Pangeran Ranakusuma juga seorang Pangeran yang bersedia bekerja bersama dengan kumpeni. Maksudku, Pangeran Ranakusuma. Bukan Raden Juwiring”

Pangeran Hargasemi benar-benar menjadi bingung menghadapi persoalan itu. Seakan-akan orang yang duduk di atas rakit itu telah mengenal mereka seorang demi seorang. Karena itu, maka hatinya menjadi semakin terbakar. Katanya, “Jangan banyak bicara. Jika kau ingin ikut serta dalam permainan ini, cepat, turun dari rakitmu”

Orang itu pun tiba-tiba berdiri. Sekali loncat ia sudah berada di atas pasir. Dikibaskannya kainnya yang semula diselubungkannya di atas punggungnya. Namun orang itu masih saja mengenakan tudung-kepala bambunya yang dianyam runcing.

“Gila, kau akan melawan seorang Pangeran? Meskipun kau mempunyai nyawa rangkap tujuh, tetapi kau akan menyesal” geram Pangeran Hargasemi.

“Jangankan seorang Pangeran. Seorang Raja pun wajib dilawan jika ia berbuat salah dan apalagi sewenang-wenang”

“Persetan. Aku akan membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke dalam bengawan”

“Aku hidup di bengawan, dan mencari penghidupan di bengawan itu pula. Aku adalah tukang satang yang mendapat upah karena menyeberangkan orang lain yang ingin melintasi bengawan. Jika aku kemudian mati di bengawan itu pula, artinya aku sudah bersatu dengan bengawan itu”

“Persetan” bentak Pangeran Hargasemi, “bersiaplah”

“Baik Pangeran. Aku sudah siap”

Pangeran Hargasemi yang marah sama sekali tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Sebagai seorang anak muda yang berilmu, maka ia pun tidak ragu-ragu lagi menghadapi lawannya, seorang tukang satang.

Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang tukang satang yang telah berani mengganggunya itu.

Namun Pangeran Hargasemi itu terkejut bukan buatan. Serangan yang dilambari dengan kemarahan yang meluap itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Bahkan hampir tanpa diketahuinya, lawannya telah beringsut di sisinya sambil berkata, “Ilmu Pangeran memang dahsyat sekali. Pantas Pangeran berani menantang anak-anak itu untuk melawan bertiga”

“Tutup mulutmu” Pangeran Hargasemi berteriak. Tetapi orang itu justru tertawa sambil berkata, “Jangan marah. Aku berkata sebenarnya. Kau memang memiliki kemampuan yang luar biasa dibanding dengan usia Pangeran yang muda itu”

Pangeran Hargasemi tidak menjawab. Tetapi ia menyerang semakin dahsyat. Namun serangannya itu bagaikan sia-sia saja.

Malam yang gelap itu seakan-akan menjadi semakin gelap, sehingga kadang-kadang ia telah kehilangan lawannya. Dan tiba-tiba saja lawannya itu telah berada di belakangnya atau di sampingnya sambil tertawa pendek.

Sikap itu benar menyakitkan hatinya. Kemarahan yang melonjak-lonjak di dadanya membuat Pangeran Hargasemi semakin kehilangan pengendalian diri. Namun demikian, ia sama sekali tidak berdaya menghadapi lawannya. Seorang tukang satang.

Para bangsawan yang memperhatikan perkelahian itu menjadi termangu-mangu. Merekapun menyadari, bahwa Pangeran Hargasemi tidak mampu mengimbangi lawannya. Sekali-sekali mereka terpaksa menahan nafas jika mereka melihat Pangeran Hargasemi kehilangan lawannya. Namun dengan sangat terperanjat meloncat memutar tubuhnya ketika ia sadar bahwa lawannya sudah berada di belakangnya.

Semakin lama semakin ternyata bahwa Pangeran Hargasemi bukan lawan orang yang menyebut dirinya tukang satang itu. Nafas Pangeran muda itu menjadi terengah-engah dan bahkan rasa-rasanya telah terputus di kerongkongan. Sedang orang yang menyebut dirinya tukang satang itu masih tetap segar dan sekali-sekali masih terdengar suara tertawanya.

“Nah” katanya kemudian, “Apakah Pangeran masih akan bermain lebih lama lagi?”

“Persetan” geram Pangeran Hargasemi disela-sela nafasnya yang hampir terputus.

“Aku rasa permainan kita sudah cukup lama. Karena itu, sebaiknya kita mengakhirinya saja” berkata tukang satang itu kemudian, “Tetapi dengan syarat. Jangan ganggu anak-anak Jati Aking itu. Kedua anak padesan yang kau anggap tidak berharga, bahkan dapat dihinakan seperti yang sudah kau lakukan, dan yang seorang adalah kemanakanmu sendiri. Raden Juwiring. Jika kau berjanji, aku tidak akan berbuat apa-apa”

“Gila, itu urusanku”

“Berjanjilah dengan janji jantan”

“Itu urusanku”

“Bukankah kau telah berjanji akan berlaku sebagai seorang laki-laki? Seorang laki-laki akan mengakui kenyataan yang dihadapinya. Jika ia kalah, ia akan mengaku kalah”

“Bukan aku yang berjanji”

“Baik” geram tukang satang, “Jika demikian, kau akan aku singkirkan dari tepian ini. Aku akan mengikatmu di atas rakit dan menghanyutkannya. Aku tidak tahu, apakah kau akan terbawa oleh arus bengawan itu sampai ke laut”

“Gila”

“Berjanjilah”

“Aku tidak peduli”

Dan sebelum mulutnya terkatup rapat, maka tiba-tiba saja rasa-rasanya tangannya akan patah terpilin. Sambil menyeringai Pangeran Hargasemi mencoba untuk melepaskan diri. Namun rasa-rasanya himpitan tangan itu justru menjadi semakin kuat, bagaikan akan meremukkan tulang.

“Pangeran, berjanjilah bahwa Pangeran tidak akan mengganggu anak-anak Jati Aking itu”

“Siapa kau? Siapa kau he?” bertanya Pangeran Hargasemi.

“Siapapun aku, tetapi berjanjilah”

“Katakan, siapa kau” suaranya terputus oleh himpitan rasa sakit.

“Sudah aku katakan, siapa aku tidak penting. Yang penting harus berjanji”

Pangeran Hargasemi tidak dapat menahan rasa sakit di tangannya. Karena itu, maka betapapun beratnya ia akhirnya berkata, “Karena kegilaanmu saja maka aku terpaksa memenuhinya”

“Terima kasih. Apapun alasannya. Aku percaya bahwa kata-kata yang Pangeran ucapkan ini adalah kata-kata seorang laki-laki. Terlebih-lebih lagi kata-kata seorang kesatria”

Perlahan-lahan tangan yang terpilin itu pun dilepaskannya. Dan sambil menyeringai Pangeran Hargasemi memijit tangannya yang kesakitan itu.

Namun tiba-tiba ia berkata, “He tukang satang. Apakah kau sangka bahwa kau dapat melawan kami semuanya?”

Tukang satang itu terkejut. Dengan heran ia bertanya, “Apakah maksud Pangeran?”

“Aku dapat memerintahkan kemanakanku untuk mengepung dan menangkapmu”

“Itu tidak mungkin. Itu tidak jantan”

“Aku tidak peduli. Tetapi kau harus ditangkap karena kau berani melawan seorang Pangeran yang berkuasa di Surakarta ini”

Tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Jadi, maksud Pangeran, Pangeran akan ingkar janji”

“Jika perlu. Untuk menegakkan kedamaian di Surakarta”

Sejenak tukang satang itu berdiam diri. Namun kemudian, “Suatu masa yang suram benar-benar telah melanda Surakarta. Seorang bangsawan tertinggi di Surakarta sudah tidak memenuhi janjinya. Ini adalah pertanda yang buruk bagi kerajaan yang sudah rapuh ini. Sebentar lagi pasar akan kehilangan gemanya, dan telaga akan kehilangan mata airnya. Surakarta akan menjadi suatu kerajaan yang miskin. Bukan miskin harta benda karena justru akan datang berlimpah, tetapi miskin harga diri, terutama harga diri sebagai suatu bangsa”

Kata-kata itu terasa menyentuh hati para bangsawan itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun yang sejenak itu telah membuat setiap dada rasa-rasanya menggelepar.

Tetapi ternyata bahwa Pangeran Hargasemi sama sekali tidak mau mendengar kata-kata di sudut hatinya yang paling dalam. Bahkan ia berteriak, “Aku akan menyeretmu menghadap kumpeni yang akan menyuapimu dengan peluru. Meskipun kau mempunyai aji tameng waja-sekalipun, kau tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut”

Tetapi tukang satang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Peluru bagiku tidak lebih berbahaya dari sebilah keris yang baik. Ujung peluru tidak akan mampu melubangi tudung kepalaku yang terbuat dari bambu ini. Tetapi keris yang baik, atau tombak Kiai Baru misalnya, akan dapat menyobek kulitku”

Pangeran Hargasemi termangu-mangu sejenak. Dan tukang satang itu berkata lagi, “Pangeran. Aku menjadi heran. Pangeran adalah seorang yang berilmu. Seharusnya Pangeran mengetahui, bahwa kita tidak perlu merasa diri kita kecil menghadapi peluru. Seharusnya Pangeran mengetahui bahwa kita dapat melindungi diri kita terhadap keganasan peluru itu”

Sejenak Pangeran Hargasemi terdiam. Sekilas terbayang kekuatan-kekuatan gaib yang pernah dimiliki oleh para bangsawan di Surakarta. Para prajurit dan penghuni-penghuni padepokan yang tersebar. Meskipun mereka tidak kebal sekalipun, namun mereka mempunyai kemampuan untuk melawan peluru. Kecepatan tangan mereka melontarkan pisau-pisau kecil dan ketepatan bidik mereka, sama sekali tidak kalah dari ketangkasan peluru kumpeni.

Tetapi ketika ia menyadari, bahwa ia berdiri di antara para bangsawan muda, dan ketika ia menyadari kekalahannya melawan tukang satang itu, kemarahannya telah membakar jantungnya kembali. Dan sekali lagi ia berteriak, “Tangkap tukang satang itu”

Para bangsawan muda itu menjadi ragu-ragu. Mereka menyadari bahwa tukang satang itu memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga untuk menangkapnya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.

Namun terdengar sekali lagi perintah Pangeran Hargasemi, “Tangkap orang itu. Aku akan melumpuhkannya, sementara kalian mengepung agar ia tidak dapat lari. Kalian dapat menyerang dari segala arah, dan kemudian menangkap dan menyeretnya, agar tidak menjadi kebiasaan tukang satang untuk menentang para bangsawan”

Sekilas tampak tukang satang itu berdiri seakan-akan membeku. Namun kemudian ia berkata, “Jangan memaksa aku melakukan perlawanan. Kalian harus menyadari, bahwa kalian adalah anak-anak ingusan yang merasa dirinya mampu melangkahi gunung Kelut. Jika aku terpaksa berkelahi melawan kalian, maka anak-anak Jati Aking itu tentu akan berpihak kepadaku. Kami berempat akan membuat kalian tidak dapat bangkit lagi sampai matahari terbit besok dan membiarkan kalian terbaring di tepian ini”

“Kalian akan digantung karena perbuatan itu” desis seorang bangsawan yang bertubuh kecil.

“Kalian tidak akan dapat menemukan aku”

“Kami akan menangkap semua tukang satang di Surakarta”

Tukang satang itu tertawa. Katanya, “Kalian tentu tidak akan dapat menemukan aku. Mungkin rakitku. Tetapi sesudah ini untuk beberapa lamanya aku tidak akan turun ke bengawan. Aku akan menghindari penangkapan yang memang mungkin saja kalian lakukan”

“Gila. Kau mengorbankan kawan-kawanmu untuk keselamatanmu”

“Bukan maksudku. Tetapi jika demikian, kalianlah yang bertindak sewenang-wenang”

Pangeran Hargasemi termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Dan kau akan mati kelaparan karena kau tidak mendapatkan nafkah untuk waktu yang panjang, karena setiap kali kami akan mencarimu”

“Ada beberapa alasan. Pangeran tidak mengenal aku dengan baik. Ada berpuluh-puluh orang tukang satang yang berpakaian seperti aku. Kemudian, aku tidak akan kelaparan meskipun aku tidak turun ke bengawan untuk waktu yang lama, karena aku juga seorang petani yang dapat hidup dari hasil sawahku. Apakah dengan demikian Pangeran juga akan menangkap semua petani di Surakarta? Atau barangkali di daerah yang lebih sempit, aku adalah petani dari Sukawati”

Pengakuan itu bagaikan guruh yang meledak di atas tepian. Anak-anak dari Jati Aking itu terkejut bukan buatan. Mereka sudah pernah mengenal petani dari Sukawati. Tetapi tiba-tiba saja di malam hari mereka sama sekali tidak dapat mengenalnya. Karena itu maka mereka pun segera mencoba untuk mengamatinya di dalam gelapnya malam.

Tetapi, rasa-rasanya orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati ini memang agak lain. Orang ini agaknya lebih pendek sedikit dari orang yang dikenalnya bernama petani dari Sukawati itu.

“Tudung kepalanya yang tinggi itulah barangkali yang membuat ia agak lain. Biasanya ia memakai caping yang rendah” berkata Juwiring di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu bukan saja ketiga anak-anak Jati Aking itu yang terkejut mendengar pengakuan tukang satang yang menyebut dirinya juga sebagai petani dari Sukawati. Beberapa orang di antara mereka pernah mendengar nama itu. Pernah mendengar seseorang menyebut dirinya petani dari Sukawati tanpa menyebut nama sebenarnya. Rudira yang pertama-tama menjumpainya pernah berceritera kepada saudara-saudaranya tentang orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu.

Karena itu, maka dada mereka menjadi semakin berdebaran. Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya paling tua di antara para bangsawan kemanakannya itu pun berdiri termangu-mangu untuk beberapa lamanya.

“Nah Pangeran” berkata petani dari Sukawati, “Pangeran dapat menangkap semua petani dari Sukawati. Tetapi kami adalah rakyat yang tinggal di dalam daerah kalenggahan Pangeran Mangkubumi. Karena itulah maka setiap tindakan terhadap kami, para petani dari Sukawati, Pangeran harus mempersoalkannya lebih dahulu dengan Pangeran Mangkubumi”

Pangeran Hargasemi masih tetap berdiam diri. Ia menjadi bingung menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, maka untuk beberapa lamanya ia berdiri saja seperti patung.

Dalam pada itu, terdengar tukang satang yang juga menyebut dirinya petani dari Sukawati itu berkata, “Sudahlah Pangeran. Kita hentikan persoalan ini sampai di sini. Biarlah anak-anak Jati Aking itu pergi tanpa diganggu dan tanpa mengganggu Pangeran dan para bangsawan-bangsawan muda yang lain. Aku pun akan minta diri. Mudah-mudahan Pangeran tidak membuka persoalan dengan kakanda Pangeran, yang mempunyai kalenggahan di daerah Sukawati itu. Jika Pangeran berurusan dengan Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran agaknya akan menyesal, karena Pangeran sudah mengetahui sikap dan pendirian Pangeran Mangkubumi”

Pangeran Hargasemi sama sekali tidak menjawab. Dan orang itu berkata kepada Juwiring, “Nah Raden Juwiring. Bawalah kedua anak itu kembali. Udara malam di pinggir bengawan ini agaknya kurang baik bagi mereka dan bagi Raden Juwiring sendiri”

Juwiring menjadi ragu-ragu sejenak. Namun orang itu berkata, “Silahkan. Aku pun akan pergi dari tempat ini. Mungkin malam ini aku masih menemukan satu dua orang kemalaman yang akan menyeberang”

Juwiring yang termangu-mangu itu pun kemudian menjawab, “Terima kasih”

Orang itu tertawa. Katanya, “Selamat malam” Lalu kepada Pangeran Hargasemi ia berkata, “Ingat, jangan ganggu lagi anak-anak itu. Selamat malam”

Tukang satang itu pun kemudian melangkah surut beberapa langkah. Kemudian ia pun meloncat dan berlari di tepian yang basah kembali ke rakitnya. Namun beberapa langkah kemudian ia berhenti sebelum ia meloncat ke atas rakitnya. Sejenak ia termangu-mangu. Lalu sambil berpaling ke dalam kegelapan ia berkata, “He, kenapa kau berada di situ?”

Semua orang yang melihatnya berpaling pula kearah pandangan mata tukang satang itu. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.

“Baiklah” berkata tukang-satang itu, “Aku akan pergi lebih dahulu”

Tukang satang yang juga menyebut dirinya petani dari Sukawati itu pun kemudian meloncat ke atas rakit. Demikian lincahnya, sehingga rakit yang berada di atas air itu seakan-akan sama sekali tidak terguncang oleh loncatannya. Bahkan lampu minyak yang berada di atas rakit itu pun masih tetap menyala berkeredipan di dalam gelap. Sepercik cahayanya yang jatuh di atas air bengawan yang berwarna lumpur itu memantul kekemerah-merahan.

Dalam pada itu, ketika tukang satang itu sudah berada di atas rakitnya, Pangeran Hargasemi pun mengumpat sambil bergeremang, “Gila. Orang gila” Lalu tiba-tiba katanya kepada Juwiring, “Kau sangka aku akan melepaskan kalian pergi. Meskipun tukang satang itu akan kembali, namun kami akan menangkap kalian bertiga. Aku akan menyelesaikannya dengan kangmas Ranakusuma. Agaknya kau merasa bahwa Senapati perang seperti kangmas Ranakusuma itu akan dapat membebaskan kau dari kesalahanmu kali ini”

Raden Juwiring termangu-mangu. Tanpa sesadarnya ia memandang tukang satang yang masih ada di atas getek di tepi bengawan.

“Kau mengharap bantuannya? Aku tidak peduli siapakah petani dari Sukawati itu. Namanya sesaat dapat mempesona kami. Tetapi jika ia turun lagi ke tepian, kami akan menangkap-nya juga”

“Gila” berkata Juwiring di dalam hatinya, “Pamanda Hargasemi memang licik sekali”

“Nah, daripada kau harus mengalami nasib yang jelek. Menyerahlah”

Tetapi Juwiring, Buntal dan Arum justru mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi.

Dalam pada itu, terdengar suara tukang satang dari. atas rakitnya, “Jadi kalian tidak mau mendengar kata-kataku?”

“Persetan”

Tukang satang itu masih berdiri tegak di dekat lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin. Namun sebelum ia berkata sesuatu, sekali lagi para bangsawan itu terkejut. Mereka melihat seseorang melangkah mendekat. di dalam gelap, mereka hanya melihat sebuah bayangan yang kehitam-hitaman.

“Kalian benar-benar licik dan pengecut” berkata bayangan itu.

“Siapa lagi kau?” bertanya Pangeran Hargasemi, “ternyata kalian datang bukan seorang diri. Dan kalian pun akan digantung di alun-alun. Semuanya. He, apakah masih ada yang bersembunyi?”

“Tidak pamanda. Tidak ada yang bersembunyi”

“O, siapa kau?”

Bayangan itu mendekat. Beberapa langkah di hadapan Pangeran Hargasemi ia berhenti dan berkata, “Apakah pamanda tidak mengenal aku lagi?”

Bersambung ke bagian 2

2 Tanggapan

  1. Sedang Istirahat di Sawah.

    Alhamdulillah jilid 12 dah hadir. Tapi baru bisa baca nanti setelah aktivitas di sawah selesai….
    Matur nuwun….

  2. BdBK-12

Tinggalkan komentar